Ekspor Ikan Kerapu dari Natuna ke Hongkong-China Terhenti: Nelayan Teriak, KKP Beri Penjelasan

1 Jun 2025 3 min read No comments Berita
Featured image

Aktivitas ekspor ikan kerapu dan napoleon dari Natuna dan Anambas, Kepulauan Riau menuju Hongkong, China terhenti sejak Maret 2025. Penghentian ekspor ikan konsumsi bernilai tinggi disebut sebagai akibat pengawasan ketat yang diterapkan Pemerintah China terhadap barang masuk lewat jalur laut setelah meningkatkan eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat.

Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam Semuel Sandi Rundupadang menjelaskan pengetatan pengawasan tersebut dipicu oleh ketegangan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

“Informasi yang kami dapatkan, salah satu penyebabnya karena Pemerintah Beijing memperketat pengawasan masuknya barang ke Hongkong lewat laut sejak terjadinya perang dagang antara Amerika dan China,” kata Semuel kepada Antara, Sabtu (31/5/2025) di Batam.

Akibatnya, kapal-kapal asal Hongkong tidak lagi datang ke pelabuhan muat di Natuna dan Anambas untuk mengambil ikan-ikan ekspor. Situasi serupa juga telah lebih dulu dialami wilayah Bitung, Makassar, Tarakan, dan Manado.

Sebagian pelaku usaha beralih menggunakan jalur udara untuk tetap mengekspor ikan, khususnya jenis kerapu berkualitas tinggi seperti Kerapu Sunu. Namun, biaya pengiriman udara jauh lebih mahal yakni sekitar Rp35.000 per kilogram dari Makassar ke Hongkong. Untuk satu kargo seberat 25 koli, hanya sekitar 8 kilogram berisi ikan, sementara sisanya adalah air.

“Kalau pesawat itu biaya kargo pengiriman mahal. Dikhawatirkan kalau tetap memaksakan kirim, ongkosnya tidak tertutup, pelaku usaha akan rugi,” jelasnya.

Berbeda dengan Kerapu Sunu, jenis kerapu macan dan kerapu kertang yang dibudidayakan nelayan Natuna dan Anambas memiliki nilai jual yang lebih rendah, sehingga tidak ekonomis jika dikirim lewat udara.

Semuel menyebut, kondisi ini tidak hanya merugikan nelayan dan pelaku usaha, tetapi juga pemerintah yang kehilangan potensi pendapatan dari aktivitas ekspor lewat jalur laut.

Pihaknya telah melaporkan persoalan tersebut ke pemerintah pusat, karena penyelesaiannya memerlukan kerja sama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Pemerintah China.

“Kami telah melaporkan situasi ini ke pusat. Penyelesaian persoalan ini menjadi domain pemerintah pusat karena melibatkan dua negara,” tegas Semuel.

Sementara itu, sejumlah nelayan pembudidaya di Natuna dan Anambas mengaku resah akibat tidak beroperasinya kapal pengangkut dari Hongkong yang biasa menjemput hasil budidaya mereka.

Nelayan Mengeluh

Dalam kesempatan terpisah, Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kepulauan Riau (DPD HNSI Kepri) menyurati Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkong (RRT) menyampaikan permohonan terkait terhentinya aktivitas ekspor ikan hidup dari Natuna, Anambas dan Bintan.

Ketua HNSI Kepri Eko Prihananto dihubungi Antara, mengatakan surat permohonan tersebut dikirimkan secara langsung ke kantor Kedubes China yang ada di Jakarta pada awal pekan ini.

“Betul, kami mengirimkan surat permohonan itu tanggal 26 Mei 2025,” kata Eko.

Dia menjelaskan pengiriman surat permohonan itu sebagai respon HNSI Kepri terhadap keresahan yang dialami nelayan pembudidaya ikan ekspor hidup yang ada di Natuna, Anambas dan Bintan. Dia menjelaskan sejak Maret 2025 hingga kini, kapal-kapal pengangkut ikan ekspor hidup dari Hongkong tak lagi datang ke sentra budidaya di wilayah tersebut.

“Kami meminta kepada Pemerintah China melalui kedubesnya untuk membuka kembali perdagangan antara pelaku budidaya di Indonesia khususnya Kepri dengan pembeli dari Hongkong atau China,” katanya.

Menurut Eko, terhentinya kapal-kapal Hongkong menjemput produk ikan hidup hasil budidaya tersebut tidak hanya terjadi di Kepri, tetapi di seluruh Indonesia, seperti klaster budidaya di Ambon, Bangka Belitung, Maratua, Bali dan Wakatobi.

Dia menyebut, selama ini aktivitas perdagangan antara pelaku budidaya ikan hidup di Indonesia sudah berlangsung sejak 1992 tidak ada masalah. Namun, baru kali ini terhenti.

“Biasanya nelayan-nelayan pembudidaya menjual ikan ke kapal-kapal pengangkut ikan hidup yang rutin masuk ke centra-centra budidaya, sudah dua bulan terakhir terhenti,” katanya.

Eko menyebut, terhentinya kapal-kapal pengangkut ikan hidup hasil budidaya di Indonesia karena kebijakan dari Pemerintah China dan menimbulkan dampak sosial bagi nelayan budidaya di wilayah tersebut.

“Dampak sosialnya, anak-anak nelayan yang kuliah di Jawa, orang tuanya enggak bisa kirim uang lagi, karena usahanya terhenti,” kata Eko.

Melalui surat permohonan tersebut, Eko berharap direspon dan aktivitas perdagangan ikan hidup di Natuna, Anambas dan Bintan dapat kembali pulih.

“Kami belum dapat balasan (surat), tapi kami sudah meminta kedubes untuk meminta ke Pemerintah China membuka kembali perdagangan ini,” kata Eko.

sumber: bisnis.com

Author: Nusavarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *